Liputan6.com, Jakarta – Sebanyak lima individu orangutan dilepasliarkan. Dari tiga individu orangutan itu ada jantan bernama Jacky, Beno, dan Puyol, serta dua individu betina bernama Oscarina, dan Isin.

Kelimanya adalah orangutan hasil rehabilitasi yang diselamatkan dari kasus pemeliharaan illegal satwa liar dilindungi. Jacky diselamatkan dari daerah Muara Pawan dan masuk ke pusat rebilitasi pada Agustus 2013, Beno diselamatkan dari daerah Simpang Dua pada tahun 2015, Puyol diselamatkan dari daerah Kendawangan pada 2010, Oscarina diselamatkan dari Pontianak pada tahun 2011 dan Isin diselamatkan dari Kabupaten Kayong Utara pada tahun 2017.

Proses rehabilitasi orangutan ini tidaklah mudah. Ini bisa berlangsung lama tergantung kemampuan masing-masing individu. Rehabilitasi ini diperlukan untuk mengembalikan sifat dan kemampuan alami orangutan untuk bertahan hidup di habitat aslinya.

Di alam bebas, bayi orangutan akan tinggal bersama induknya sampai usia 7-8 tahun untuk belajar dari induknya bagimana bertahan hidup di alam sebagai orangutan. Karena bayi orangutan ini dipaksa berpisah dengan induknya untuk dijadikan peliharaan, bayi orangutan ini kehilangan kesempatan untuk menguasai kemampuan bertahan hidupnya.

Kepala Balai Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR) menyebut pelepasliaran orangutan ini dilakukan dengan melalui serangkaian kegiatan dan kajian. Dia berharap, orangutan yang dilepaskan di dalam kawasan TNBBBR ini mampu membentuk populasi baru, dan mempertahankan eksistensi spesiesnya.

“Pada bulan Februari 2020, juga melepasliarkan lima individu orangutan di sini,” kata Agung Nugroho hari ini.

“Semua kegiatan dan kajian ini, dilakukan untuk memastikan semua orangutan yang telah dilepasliarkan, dapat hidup aman, dan tercukupi pakannya. Ketika pelepasliaran dilakukan, bukan berarti kerja kita selesai. Tim monitoring akan tetap bekerja selama lebih kurang tiga bulan, untuk memastikan setiap orangutan yang dilepasliarkan dapat beradaptasi dengan habitat barunya,” ucapnya.

Kawasan TNBBBR dipilih sebagai tempat pelepasliaran karena berdasarkan hasil survey yang telah dilakukan, jumlah jenis pohon pakannya tinggi sedangkan jumlah populasi alami orangutan cukup rendah. Untuk mencapai lokasi pelepasliaran, tim pelepasan bersama orangutan harus menempuh perjalanan darat sejauh 700 kilometer dan dilanjutkan dengan perahu dan berjalan kaki.

Diperlukan waktu hingga 3 hari untuk mencapai titik pelepasan dari pusat rehabilitasi orangutan IAR Indonesia di Ketapang. Meskipun demikian, status kawasan sebagai Taman Nasional akan lebih menjamin keselamatan satwa di dalamnya.

“Dengan dilepasliarkannya 5 individu orangutan ini, maka telah dilepasliarkan 51 individu orangutan di wilayah kerja Balai TNBBBR, yang terdiri dari 10 individu orangutan liar/translokasi, dan 41 individu orangutan hasil rehabilitasi dari Pusat Penyelamatan Konservasi Orangutan (PPKO) Ketapang,” kata Agung Nugroho.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, Sadtata Noor Adirahmanta, dalam keterangan resminya menyampaikan penyelamatan satwa berupa evakuasi, translokasi dan beberapa kegiatan lain seperti penyuluhan dan penyadartahuan, merupakan bagian dari solusi konflik satwa dan manusia. Perlu disadari bersama, bahwa sebagai bagian dari ekosistem dan sebagai bagian dari alam, manusia harus bisa menerima kehadiran komponen alam lainnya, termasuk satwa liar.

“Sudah waktunya masing-masing belajar hidup berdampingan dalam harmoni. Manusia sebagai makhluk yang dianggap paling cerdas, memiliki tanggung jawab terbesar untuk mewujudkan dan menjaga harmonisasi alam,” kata Sadtata Noor Adirahmanta.

Dia menyebut, pelepasliaran orangutan ini bisa dikatakan berhasil dengan lahirnya 3 bayi orangutan secara alami di dalam kawasan Taman Nasional Bukit baka Bukit Raya dari orangutan hasil rehabilitasi yang dilepasliarkan di sana. Kelahiran generasi baru orangutan ini membumbungkan harapan bahwa populasi orangutan di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya serta di Kalimantan Barat pada umumnya akan terus terjaga dan lestari.

Sebelumnya pada awal November 2019, Shila yang dimonitoring setiap hari sejak pelepasan terpantau melahirkan bayi orangutan berjenis kelamin jantan yang kemudian diberi nama Dara oleh Menteri LHK, Siti Nurbaya Bakar, kesuksesan ini berulang ketika pada Juni 2020, orangutan hasil rehabilitasi bernama Desi juga melahirkan anak pertamanya yang berkenis kelamin betina.

Penulis: Aceng Mukaram

Baca selengkapnya https://www.liputan6.com/regional/read/4414568/kisah-3-hari-perjalanan-menerabas-hutan-demi-kembalikan-orangutan-ke-habitatnya