Keberpihakan
Kesenjangan ekonomi menjadi hantu dunia. Dalam Laporan Kekayaan Dunia 2017, Credit Suisse mencatat, 70,1 persen penduduk dunia hanya menguasai 3 persen kekayaan, sementara 8,6 persen penduduk memiliki 85,6 persen kekayaan dunia. Ketimpangan penguasaan terhadap sumber daya alam disebut-sebut sebagai salah satu penyebab disparitas itu. Tak terkecuali yang terjadi di negeri kita.
Tak ada yang memungkiri, proporsi hak kelola masyarakat terhadap sumber daya hutan selama ini sangat kecil dibanding korporasi. Ironisnya, eksploitasi besarbesaran, baik dalam bentuk perkebunan, tambang, maupun kayu, ternyata tak berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Diperkirakan, sekira 10,2 juta jiwa warga yang tinggal di kawasan tersebut masuk kategori miskin.
Tahun lalu, secara terbuka Presiden Joko Widodo pernah menegaskan pentingnya distribusi sumber daya hutan secara adil. Sekira 12,7 juta hektar lahan dialokasikan oleh pemerintah untuk masyarakat adat, kelompok tani, dan masyarakat sekitar hutan melalui program perhutanan sosial. Tujuan utama dari program ini adalah mengatasi masalah kemiskinan masyarakat di dalam dan sekitar hutan sehingga ketimpangan dapat dikurangi.
Namun, dalam praktiknya, program tersebut tak berjalan mudah. Hingga akhir Oktober 2017, baru 1,09 juta hektar lahan yang direalisasikan dari target 12,7 juta hektar, seperti termaktub dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015- 2019.
Pemerintah memang tak bisa sendirian. Untuk harapan yang sangat besar melalui program ini, semua pihak, baik pemerintah pusat dan daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), sektor swasta, dan masyarakat harus bahu-membahu. Hanya dengan cara itu, program perhutanan sosial ini dapat diwujudkan untuk menggapai tujuan muliannya: keberpihakan kepada yang lemah dan tercapainya pemerataan kesejahteraan.
M.S. Sembiring
Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI