Indonesia menepati urutan nomor 2 dari 12 negara di dunia yang memiliki keanekaragaman hayati terrestrial dan endemik (Sumber: Mittermeierat al, 1997). Meski hanya seluas 1,3 % dari total daratan bumi, Indonesia adalah rumah bagi 17 % spesies kehidupan liar yang ada di planet ini.

Data System Climate Solution 2016 mencatat,hutan hujan tropis hanya 5 % dari luas Bumi, namun menampung 50 % dari seluruh keanekaragaman hayati didunia. Hutan tropis menjadi rumah bagi spesies-spesies penting, salah satunya adalah orangutan. Orangutan dan hutan tropis memiliki interaksi yang unik dan saling mempengaruhi. Orangutan disebut sebagai spesies dasar dan payung (umbrella species) karena berperan dalam mengkayakan pohon di hutan dengan menyebarkan biji pohon yang ia konsumsi. Hilangnya orangutan berarti hilangnya ratusan spesies tanaman di hutan hujan.

Populasi orangutan tiap tahunnya terus menyusut. Laporan riset “First integrative trend analysis for a great ape species in Borneo”  menyebutkan dalam kurun waktu 10 tahun terkahir terjadi penurunan populasi sebanyak 25%. Di Kalimantan dalam periode 1997 – 2002 diperkirakan terdapat 15 individu per 100 km2, namun kepadatan tersebut menurun per 100 km2 di tahun 2009-2015. Pada tahun 2015, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) melalui Surat Keputusan No. 180 tahun 2015 menetapkan orangutan dengan status critically endangered atau spesies yang sangat terancam punah.

Masalah fregmentasi habitat dan kegiatan perburuan menjadi dua penyebab utama turunnya populasi orangutan. Sejak tahun 1973-2015 di Kalimantan, Cifor memperkirakan terjadi kehilangan hutan seluas 14,3 juta ha atau lebih kurang 25 kali luas Pulau Bali. Penurunan luas dan kerusakan hutan Indonesia menjadi penyebab proses breeding orangutan menjadi tidak sempurna, dan peluang hidup orangutan menjadi kecil, pada ujungnya hal inilah yang menjadi penyebab turunya jumlah populasi orangutan.

Angka perburuan satwa menjadi penyebab kedua turunnya populasi Orangutan. Laporan “Organized Crime and Corruption Reporting Project 2013” memperkirakan dari 2005 sampai 2011, sekitar 1.019 Orangutan diambil dari alam liar. Penurunan populasi orangutan, tentu menjadi hal yang memprihatinkan, mengingat jumlah populasi orangutan terbesar berada di Indonesia. Seperti spesies Panda untuk China, Orangutan merupakan spesies kebanggaan Indonesia.

Salah satu langkah untuk mengatasi penurunan populasi orangutan adalah dengan menjaga konektifitas hutan habitat orangutan (koridor)dan menstabilkan populasi orangutan dengan pelepasliaran di kawasan-kawasan yang aman, selain upaya penegakan hukum pencegahan perdagangan dan peredaran satwa orangutan harus terus dilakukan.

Di tahun 2007 pemerintah telah menerbitkan kebijakan perlindungan orangutan melalui Strategi Rencana Aksi Konservasi 2007 – 2017. Dalam dokumen tersebut, point-point penting yang direncanakan oleh pemerintah meliputi: (a). Strategi dan program pengelolaan konservasi orangutan melalui pelaksanaan konservasi in-situ di habitat asli dengan dukungan pengembangan konservasi ek-situ. Kegiatan tersebut dikuatkan dengan penelitian untuk konservasi orangutan; (b).  Mendorong terciptanya kawasan konservasi daerah yang sesuai dengan kareteristik ekosistem, tata ruang, status hukum, serta kearifan lokal. Selain itu adanya upaya penyempurnaan berbagai aturan perundang-undangan untuk mendukung keberhasilan konservasi orangutan; (c). Kemitraan dalam mendukung konservasi orangutan melalui kerjasama antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, swasta dan masyarakat untuk berperan aktif dalam konservasi orangutan. Serta mendukung pemberdayaan masyarakat  dan peningkatan kapasitas pelaksana konservasi orangutan; (d). Program komunikasi dan penyadartahuan masyarakat untuk konservasi orangutan; (e). Serta strategi dan program pendanaan untuk mendukung konservasi orangutan.

(Orangutan yang dilepaslirakan di Taman nasional Bukit Baka Bukit Raya (TN BBBR), kerja sama Yayasan KEHATI, YIARI, dan Taman Nasional BBBR, Melawi Kalimantan Barat)

Sebagaimana desain dalam kebijakan SRAK, upaya perlindungan dan pencegahan populasi orangutan ini tidak cukup dilakukan oleh pemerintah sendiri. Diperlukan keterlibatan dari berbagai pihak seperti akademisi, masyarakat pemerhati, media, swasta dan LSM. Peranan LSM dinilai sangat penting, karena LSM mampu mengajak pihak-pihak lain seperti akademis, media, swasta dan bahkan masyarakat luas dalam ikut berpartisipasi dalam penyelematan orangutan.

Salah satu LSM di Indonesia yang konsisten dalam mendorong upaya penyelamatan Keanekaragaman Hayati termasuk Orangutan adalah Yayasan Kehati. Yayasan Kehati adalah lembaga pengelola hibah (grant-making), berdiri sejak 1994 dan telah bekerja menyalurkan pendanaan kepada lebih dari 1.000 KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat), LSM, Swasta dan Perguruan Tinggi. Program-program yang diberikan pendaan oleh kehati diantaranya pelestarian keanekaragaman jenis-jenis tanaman pangan dan obat tradisional, pelestarian ekosistem pesisir dan hutan termasuk spesies-spesies khas, dan salah satunya adalah Orangutan.

Secara khusus program konservasi orangutan Kehati dijalankan melalui program khusus Tropical Forest Conservation Act (TFCA) Kalimantan dan TFCA Sumatera. Melalui program TFCA Kalimantan, KEHATI mendanai Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI), sebuah LSM di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat yang bergerak dalam penyelamatan satwa liar khususnya orangutan.  Dalam kurun waktu 2016-2017 Kehati mendukung YIARI dalam melepaskan sebanyak 21 individu Orangutan di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR). Orangutan ini berasal dari peredaran ilegal (peliharaan) yang kemudian diselamatkan, direhabilitasi, dan dirawat di Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Orangutan.  Hingga November 2017, 4 Orangutan Mama Laila (betina, 14 tahun), Lili (anak Mama Laila, betina, 4 tahun), Lisa (betina, 5 tahun), dan Vijay (jantan, 5 tahun), telah dilepasliarkan ke alam bebas.